INDAH INDAH INDAH

hai hai!

InDaH CwiTte

Kamis, April 29, 2010

Akulturasi Budaya Cina di Indonesia

Seseorang yang menjadi immigran mengalami menjadi minoritas,
baik sebagai "immigrant sojourn" (tinggal selama perjalanan jangka
pendek), "immigrant refugee" (pengungsi), maupun "immigrant
voluntary" (karena kehendak sendiri). Perasaan sebagai minoritas ada
dalam kaitannya dengan perbedaan bangsa, bahasa, agama, ras, dll.
atau yang terlihat secara fisik, yaitu bentuk wajah, warna kulit,
warna rambut, aksen bahasa, dll. Perbedaan yang dirasakan oleh panca
indera tersebut menarik keluar sebuah kesadaran akan identitas diri
yang berhubungan dengan situasi sosial (SOSIAL IDENTITY). Bahwa
dirinya berbeda dan memiliki latar belakang yang berbeda menimbulkan
problema penerimaan sosial, dan menimbulkan reaksi adaptasi yang
bermacam-macam tergantung pada individu yang mengalaminya.
Pada umumnya individu dewasa akan segera mengidentifikasikan
dirinya dengan kelompoknya yang sebangsa, atau sebudaya, dengan cara
mencari mereka yang sama dengan dirinya, berkumpul bersama dengan
mereka untuk lebih mudah mengatasi perbedaan tersebut. Mereka lebih
banyak menggunakan bahasa dan tata caranya sendiri. Motivasi ini
disebut loyalitas etnis atau "ethnic loyality". Namun inklusivitas
ini menimbulkan reaksi dari kelompok budaya yang lebih dominan,
yaitu diskriminasi. Ada pendapat yang mengatakan bahwa semakin
individu tersebut mengalami diskriminasi semakin ia akan
mengidentifikasikan dirinya dengan kelompoknya, membedakan diri,
maka semakin ia mengalami diskriminasi hingga kehilangan respek
(discreditable). Reaksi lain yang bisa ditunjukkan oleh individu
minoritas adalah berkemampuan seperti kelompok budaya yang dominan,
seperti belajar bahasa, tata cara berbusana, berbicara, condong
bergaul dengan kelompok budaya dominan, sehingga meminimalkan
perbedaan latar belakang budaya yang terbawa oleh individu
minoritas. Motivasi ini disebut "cultural competence", ia sadar akan
perbedaan budaya yang dibawanya sebagai minoritas dan budaya yang
dominan, dan ia memiliki pengetahuan akan kedua budaya tersebut.
Individu ini akan bersikap berbeda sesuai dengan situasi kelompok
budaya yang dihadapinya, bilamana berhadapan dengan sesama kelompok
budayanya ia akan menggunakan bahasa dan tata caranya sendiri, namun
bila berhadapan dengan kelompok budaya dominan, ia akan mampu
berbicara atau bersikap seperti mereka.
Kesadaran berbudaya muncul bersamaan dengan munculnya loyalitas
etnis dalam diri individu tersebut ketika ia mengalami diskriminasi,
yang tidak selalu bermakna negatif. Immigrant akan mengalami
diskriminasi karena status minoritasnya. Sebenarnya, status
minoritas inilah yang menjadi inti dari masalah status sosial.
Bagaimana minoritas mengatasi masalahnya dalam seting budaya, tempat
yang secara fisik lebih dominan terhadap dia? Ia akan beradaptasi
secara budaya (akulturasi) seperti telah diuraikan sebelumnya. Jadi
proses akulturasi terjadi mula-mula ketika sekelompok individu dari
dua kelompok budaya yang berbeda mengadakan kontak secara terus-
menerus satu sama lain dan setelahnya mengalami perubahan pola
budaya pada salah satu atau keduanya seperti model akulturasi yang
dikemukakan oleh Robert Park yaitu KONTAK (dari tangan pertama)->
AKOMODASI (menerima) -> ASIMILASI (diterima/menjadi bagian).
Perbedaan reaksi adaptasi dapat terjadi antar individu dalam
kelompok minoritas yang sama atau memiliki latar belakang atau
tingkat pendidikan yang sama yang disebabkan oleh perbedaan motivasi
(pendorong) seperti keputusan/keinginan pribadi, motivasi ekonomi,
politik, dll yang mana yang lebih menguntungkan/berguna baginya
maupun hanya sekedar untuk mempertahankan hidup. Reaksi adaptasi
budaya ini juga selektif terhadap perilaku, nilai-nilai, dll,
tergantung pada individu masing-masing; hal lama apakah yang akan
digantinya dengan hal yang baru, dan sebaliknya hal lama yang akan
tetap dipegangnya. Contoh kasus: kelompok minoritas Tionghoa di
Jakarta, akan berbeda dengan kelompok minoritas Tionghoa di Medan,
dst. yang mana masing-masing anggota kelompok dalam sebuah keluarga
juga akan mengalami perubahan pola budaya yang berbeda.
Telah dibahas sebelumnya bahwa ada dua reaksi adaptasi budaya,
pertama adalah menarik diri (mengidentifikasi dirinya dengan
kelompoknya), dan yang kedua adalah melebur (memiliki kemampuan
terhadap budaya asal dan budaya yang baru). Keduanya melibatkan
reaksi kelompok budaya mayoritas juga, jadi proses akulturasi adalah
dua arah, yang dapat membalikkan reaksi adaptasi menjadi
berkembangnya budaya kelompok minoritas melalui
bangkitnya/digunakannya bahasa mereka oleh kelompok budaya yang
dominan, atau material fisik lain. Jadi reaksi dan aksi adaptasi
budaya ini sangat dinamis melibatkan lebih dari satu motivasi.
Contoh kasus: hasil proses akulturasi kelompok Tionghoa di Jakarta
lebih kentara dibandingkan dengan hasil akulturasi kelompok Tionghoa
di Medan, dilihat dari keseringan/kemampuan menggunakan bahasa asal
(Mandarin/Hokkian). Anak-anak yang dibesarkan di Jakarta
kurang/tidak mampu menggunakan bahasa Mandarin. Sedangkan generasi
yang dibesarkan di Medan lebih mampu/fasih menggunakan bahasa
Mandarin.
Proses akulturasi pada kelompok budaya Tionghoa di Indonesia
sangat membuka jalan untuk bermacam-macam studi baik dari disiplin
ilmu sosial, bahasa, hingga ke arsitektural. Banyak sekali yang bisa
dikaji dari masalah-masalah sosial beserta reaksi-reaksi atau ahsil-
hasil yang muncul di berbagai tempat yang berbeda, tidak terbatas
pada kasus yang terjadi di Medan atau Jakarta saja, mengingat
perjalanan yang unik dari sejarah kelompok budaya Tionghoa dimulai
dari sekitar wilayah Medan (tercatat permukiman Tionghoa tertua
yaitu abad ke-5 Masehi ditemukan di sana).

REFERENSI

Padilla, Amando M., dan Perez, William. 2003. Acculturation, Social
Identity, and Social Cognition: A New Perspective. Hispanic Journal
of Behavioral Sciences, Vol. 25 No. 1, February 2003 35-55. Sage
Publications.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untuk Di baca


Tips Sehat Hari Lebaran Idul Fitri Bugar Fit Prima Foto Gambar Masakan Makanan Lezat Enak Halal

Tips sehat saat Lebaran Hari Raya Idul Fitri ini merupakan rangkaian artikel terakhir Rumah Islami setelah sebelumnya saya telah menyajikan tips sehat buka puasa di bulan Ramadhan.

Lebaran merupakan puncak dari usaha untuk memenuhi kewajiban dan perjuangan menahan nafsu satu bulan lamanya, khususnya keinginan untuk makan dan minum. Saat bulan suci Ramadhan 2009 berakhir dan batasan untuk bersantap di pagi dan siang hari telah hilang, mulailah kebiasaan lama muncul kembali: mengkonsumsi makanan tanpa berpikir akibat atau dampaknya karena dilakukan secara berlebihan dan terus-menerus!

Hal ini dapat dimaklumi karena biasanya makanan dan masakan yang disajikan saat Lebaran lain dari biasanya dan ditambah aneka kue kering Lebaran yang sangat mengundang selera :)

Namun demikian, yang paling penting adalah jangan menjadikan Hari Idul Fitri sebagai ajang balas dendam karena telah menjalankan kewajiban berpuasa. NIkmati sajian hari Lebaran dengan cerdas dan tetap menjaga kesehatan agar senantiasa kuat dan bertenaga paska atau setelah puasa dan Lebaran.

Mudah-mudahan artikel berikut ini membuka hati kita untuk senantiasa menjaga tubuh agar tetap sehat fit bugar di Hari Lebaran Idul Fitri 1430H. Amin.

Hindari Makan Berlebih Saat Idul Fitri

Hari Raya Idul Fitri kurang dari tiga minggu lagi. Pesta hari raya umat muslim ini, lekat dirayakan dengan menghidangkan makanan dan minuman mewah yang lain dari hari-hari yang biasa. Menanggapi hal ini, Spesialis Penyakit Dalam Rumah Sakit Siloam Kebon Jeruk, Dr. Epistel Simatupang mengingatkan agar tidak berlebihan mengonsumsi makanan kendati tengah merayakan hari raya.

"Meski Idul Fitri tetapi jangan makan yang berlebihan. Tetap pada pola diet yang sehat," ujar Epistel, Jakarta, Sabtu (29/8).

Saat Idul Fitri memang kerap menghidangkan makanan bersantan dan pedas, seperti opor ataupun rendang. Selain itu, juga banyak dihidangkan kue-kue dan minuman bersoda yang mengandung kadar gula yang tinggi.

Menurut Epistel jika jenis makanan dan minuman ini dikonsumsi dalam jumlah yang banyak, maka akan memicu asam lambung berlebih dalam tubuh ataupun mengakibatkan stroke. Karena itu, dia mengingatkan agar pintar memilih makanan dan tetap menghindari makanan yang memiliki kadar gula tinggi dan berlemak. "Perlu juga tetap konsumsi makanan berserat dan minum yang cukup untuk menjaga hidup sehat," katanya.

Sumber: Kompas.com

Komen donk!

Persahabatan


Lihat Kartu Ucapan Lainnya (KapanLagi.com)